Fatawa Musthafa Az Zarqa
Syari’ah Islam tidak bisa direpresentasikan oleh satu mazhab saja tetapi oleh semua mazhab fiqh dan ijtihad – ijtihad yang mu’tabar.
Fatwa hukum agama sudah dimulai sejak zaman Rasulallah s.a.w. karena sebagai seorang rasul, salah satu tugasnya adalah menjelaskan hukum kepada ummat dan itulah tugas para mufti. Oleh karenanya tidaklah aneh jika para mufti dalam batas-batas tertentu menggantikan, menempati, dan menjalankan tugas kenabian, yakni menjelaskan hukum agama melalui fatwa-fatwa mereka kepada ummat.
Setelah Rasulallah s.a.w. wafat tugas ini terus dilaksanakan oleh para sahabat yang memiliki kemampuan dalam berfatwa, para ulama tabiin, para imam mujtahid dan terus berlanjut hingga sekarang. Banyak fatwa-fatwa yang dibukukan mulai fatwa-fatwa rasulallah, sahabat-sahabat, dan para ulama klasik hingga kontemporer. Misalnya Fatawa Ar Rasul oleh Ibnu Al Qayyim, Fatawa Al Imam Ar Ramli, Fatawa Imam Nawawi, Fatawa `Alam Qir, atau Fatawa Al Kubra, Ibnu Taimiyyah. Untuk fatwa kontemporer misalnya Fatawa Mu’ashirah, Yusuf Al Qardhawi, Fatawa Mahmud Syaltut, Fatawa Mu’ashirah, Wahbah Az Zuhaili dan kitab yang sedang dikaji ini, yakni Fatawa Musthafa Az Zarqa. Adapula fatwa Lembaga – Lembaga Fiqh yang bersifat Fatwa Kolektif seperti Majma Fiqh OKI, Rabithah ‘Alam Islami yang bersifat Internasional hingga fatwa MUI yang bersifat nasional, tidak ketinggalan pula fatwa dari organisasi keagamaan seperti Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan sebagainya.
Fatawa Musthafa Az Zarqa ini pada dasarnya merupakan kumpulan fatwa –fatwanya disejumlah majalah yang dihimpun oleh Majd Ahmad Makki, murid Az Zarqa sendiri. Disamping fatwa –fatwa yang masih berbentuk tulisan tangan dan fatwa-fatwa baru yang masih disimpan oleh Az Zarqa yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1995 hingga tahun 1998.
Musthafa Az Zarqa (1904-1998) adalah seorang pakar fikih kontemporer yang tidak asing di Timur Tengah bahkan di dunia Islam. Banyak karyanya dalam bidan fikih yang sudah dipublikasikan dan menjadi referensi diberbagai Perguruan Tinggi Islam di dunia. Seperti Al Madkhal Al Fiqhi Al ‘Am sebanyak dua jilid tebal, Ahkam Al Auqaf, Nizam At Ta’min, Nadzariyah Al Iltizam, dsb.
Kepakarannya dalam bidang fiqh ini membuatnya diangkat sebagai pakar penulisan Ensiklopedi Fiqh di Kuwait selama Lima Tahun, anggota Lembaga Fiqh Islam RAA dan OKI dan di undang sebagai dosen tamu di Univesitas Yordania sejak tahun 1971-1989 dan memperoleh penghargaan King Faishal Award tahun 1404 H atas karyanya Al Madhkal Ila Nazariah Al Iltizam Fi Al Fiqh Al Islami.
Melihat kiprahnya yang begitu luas dan kepakarannya dalam bidang fiqh, menjadi wajar jika ia menjadi tempat masyarakat untuk meminta fatwa hukum, bukan hanya dari Timur Tengah saja tetapi juga dari Amerika, Eropa, dan Kanada. Dari individu maupun Lembaga-Lembaga Islam.
Fatwa – fatwa yang ada dalam kitab ini terdiri dari berbagai bidang yakni :
1. Bidang Akidah
2. Ibadah, terdiri dari Thaharah, Shalat, Zakat, Haji dan Puasa
3. Hukum-hukum Makanan
4. Bidang Medis
5. Hukum Keluarga
6. Bunga Rampai (campuran)
7. Berkaitan dengan undang-undang (Fiqh Qonuni)
8. Hudud dan Diyat9. Muamalah dan Keuangan (Transaksi, Asuransi, Hutang Piutang, Sewa Menyewa, dll )
10. Persoalan Bank
Jika kita meneliti fatwa-fatwa Az Zarqa ini, kita akan menemukan banyak jawaban-jawaban yang tampak terkesan kontroversial dan berbeda dengan para ulama yang lain. Orang yang tidak memiliki khazanah fiqh yang luas, fiqh dan ushul fiqh akan segera mengecamnya sebagai Faqih yang liberal. Akan tetapi sebagai seorang faqih yang luas pengetahuannya ia memiliki argumentasi yang mungkin tidak terlintas dibenak orang awam.
Dalam bidang penetapan awal bulan puasa dan hari raya misalnya, Az Zarqa dapat kita lihat sebagai pendukung mutlak hisab. Menurutnya awal puasa dan hari raya bisa dilakukan hanya dengan hisab tanpa harus ru’yah asalkan hisab itu dapat dipertanggungjawabkan tingkat akurasinya. Alasannya jika nabi menyuruh ummat melihat bulan (ru’yah) itu karena mereka bangsa yang tidak mahir membaca dan berhitung (ummi). Dan melihat bulan pada tanggal 29 Ramadhan adalah metode termudah untuk mengetahui awal bulan, karena bulan arab (Qomariah) ada yang 29 dan ada yang 30 hari. Harus diingat bahwa melihat bulan (hilal) bukan syarat mutlak untuk memulai puasa dan hari raya. Karena jika tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan bulan tidak terlihat maka nabi memerintahkan istikmal. Tetapi seandainya pada tanggal 30 Ramadhan bulan juga belum terlihat, tidak lantas besoknya tetap puasa. Artinya ru’yah hilal itu bukan syarat mutlak, akan tetapi ia merupakan sarana (wasilah) yang mungkin saat itu. Jika para ulama klasik menolak hasil hisab pada saat itu, karena ilmu ini masih bercampur dengan ilmu nujum dan belum akurat, masih bersifat rekaan, bahkan dugaan kuat pun belum. Jadi wajar jika para ulama terdahulu menolak hasil hisab – falak dan sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Az Zarqa juga menukil pendapat Imam Qalyubi dari Syafi`iyah yang menukil pendapat Al Ibadi bahwa jika hisab qati’ menetapkan hilal tidak bisa dilihat dan ada orang yang mengaku bisa melihatnya maka kesaksiannya tidak dapat diterima meski ia orang adil. Hlm 157-169.
Dalam bidang miqat ihram haji bagi jama’ah haji yang naik pesawat dan turun di Bandara King Abdul Aziz Jeddah maka miqat ihram makani mereka adalah Jeddah. Dengan bahasa yang tegas ia mengatakan bahwa orang yang datang dengan pesawat terbang tidak wajib melakukan ihram kecuali setelah pesawat mendarat di daerah yang akan mereka tempuh dengan jalur darat. Karena Bandara Internasional Jeddah terletak di dalam miqat makani maka dari situlah mereka harus memulai ihram karena mereka disamakan dengan penduduk Jeddah. Seandainya bandara itu nanti dipindah ke Makkah, maka tempat ihram mereka adalah dari makkah sama dengan penduduk Makkah. Begitu seterusnya sesuai dengan miqat-miqat makani yang sudah ditentukan lewat jalur darat pada masa nabi s.a.w. Menurutnya ketentuan miqat makani ihram yang sudah ada nashnya tidak berlaku bagi orang yang naik pesawat. Ia menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa teks hadits mengenai miqat makani berlaku baik lewat darat, laut, maupun udara. Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan semua ulama anggota RAA yang bersidang di Yordania tahun 1407 H. Hlm 177-194.
Untuk kasus bacaan Fatihah dalam shalat ia membolehkan bagi orang yang baru masuk Islam untuk membaca terjemahannya dalam bahasa mereka hingga beberapa minggu sampai mereka mampu dengan bahasa arab, karena nabi juga memberi keringanan kepada Salman Al Farisi untuk menerjemahkan surat Al Fatihah kepada penduduk Persia yang baru masuk Islam. Hlm 109.
Untuk kasus zakat tanah yang dibeli untuk dibisniskan (komoditas bisnis) maka zakatnya sama dengan zakat tijarah (dagang) yang harus memakai haul dan harga terakhir pada saat penjualan itulah yang dihitung zakatnya. Hlm 131.
Dalam persoalan wanita dan keluarga misalnya, ia menfatwakan bahwa wanita boleh bepergian naik pesawat dan angkutan umum meski tanpa didampingi mahramnya. Karena angkutan massa seperti pesawat, kereta api, dan sebagainya terjamin keamanannya. Larangan nabi dalam kasus ini dapat dipahami karena perjalanan yang dilakukan pada zaman dahulu sangatlah beresiko apalagi bagi wanita, keamanan tidak terjamin. Tapi kondisinya sekarang berbeda dengan angkutan massa seperti pesawat atau kereta api. Tetapi ia mensyaratkan apabila ditempat tujuan ada yang menyambut wanita itu. Hlm 276. Secara umum, dalam bidang wanita dan keluarga fatwa-fatwanya tidak berbeda dengan pendapat yang sudah ada. Bisa dikatakan ia cenderung konservatif. Misalnya ia tidak menyamakan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan, tidak membolehkan nikah mut`ah, tidak membolehkan wanita membuka kepala di zaman sekarang dengan alasan `Umum Al Balwa, tidak bisa dihindari. Jadi harus memakai penutup kepala (Jilbab).
Ada satu fatwanya yang cukup menarik untuk kita pahami. Yakni dalam kasus orang Islam mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen. Ia memfatwakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena yang demikian itu termasuk basa-basi pergaulan (Mujamalah) dan etika baik dalam pergaulan dan Islam tidak melarangnya. Terlebih lagi dalam akidah kita, Isa adalah rasul Ulul Azm. Meski mereka meyakininya sebagai Tuhan, itu tidak ada hubungannya dengan perlunya basa-basi pergaulan. Kita orang Islam dituntut untuk menampilkan keindahan dan moderatisme islam, lebih-lebih kenalan-kenalan kita dari kalangan Kristen mengucapkan selamat hari raya kepada kita, dan jika kita tidak membalasnya tentu ini akan menguatkan tuduhan bahwa kita memang orang keras hati dan tidak siap bergaul dengan mereka. Jika mengucapkan selamat natal saja boleh, maka mencetak kartu natal juga boleh-boleh saja. Hlm. 355-358.
Dalam kasus fatwa bunga bank,menurutnya dalam kondisi sekarang ini menabung uang di bank konvensional apalagi dalam jumlah besar memang suatu kebutuhan (dharurat) karena aspek keamanannya lebih terjamin. Meski demikian bunganya tetap haram, harus diambil dan diberikan kepada fakir miskin. Tidak boleh diniati sebagai zakat atau sedekah, karena apabila tidak diambil akan semakin memperkuat bank ribawi. Hanya saja ia mengingatkan jika bank Islam sudah ada di wilayah itu, haram hukumnya menabung di bank ribawi sesuai dengan kaidah fikih Ad Dharurah Tuqaddaru Bi Qadariha. Hlm 586. Bandingkan dengan sebagian orang yang mengambil bunga bank dan tidak memakannya akan tetapi membelikannya kepada barang –barang elektronik umpamanya, jelas hal ini bertentangan dengan fatwa Az Zarqa.
Beberapa fatwa kontroversinya yang terkait dengan bunga bank adalah jika orang Islam yang tinggal di barat menabung dan memperoleh bunga bank di negeri kafir (barat) misalnya, hal itu diperbolehkan. Fatwa ini didasarkan pada fatwa Imam Hanafi yang membolehkan orang Islam masuk ke negeri kafir (Bilad Al Harb) dengan aman untuk memakan riba dari mereka asalkan mereka memberi riba itu dengan senang hati, tetapi orang Islam tidak boleh memberi riba kepada mereka. Fatwa ini ditujukannya kepada muslim Amerika yang tinggal di sana. Baik mereka menabung lalu mendapatkan bunga atau meminjam uang untuk kredit rumah atau mobil karena manfaatnya juga akan terpulang kepada mereka meski secara zahir mereka memberikan riba kepada bank untuk kredit rumah dan mobil itu. Hlm 661-666. Fatwa ini tidak berlaku bagi orang Islam yang tinggal di Negara Islam yang sengaja menabung di Barat atau bank-bank asing yang ada di Negara islam. Alasannya hal itu akan melemahkan ekonomi Negara karena banyaknya uang ummat Islam yang keluar negeri khususnya Negara-negara barat. Hal ini logis secara hukum dan sesuai dengan prinsip Sadd Ad Dzari`ah. Hlm 614-618.
Ada satu fatwa hukum Az Zarqa yang tampaknya sekarang di adopsi oleh Departemen Agama yaitu membangun ulang masjid yang sudah ada dan memperluasnya kemudian masjid di letakkan di lantai dua, sedangkan lantai satu menjadi pusat pertokoan yang hasil sewanya untuk kemaslahatan wakaf dan kepentingan masjid. Fatwa Az Zarqa ini didasarkan pada pendapat Ibnu Taimiah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat. Fatwa ini dikeluarkan sebagai jawaban atas permohonan fatwa dari Menteri Wakaf dan Urusan Tempat-Tempat Suci Yordania. Hlm. 461-466. Meski demikian, Syaikh Az-Zarqa dengan timnya juga menggaris bawahi bahwa perubahan itu hanya sampai lantai dua saja. Sebab jika dibangun hingga beberapa lantai dan masjid diletakkan dilantai empat misalnya, itu akan membuat masjid menjadi sepi karena orang akan susah dan malas naik ke sana serta mengurangi dan menyalahi tujuan wakaf masjid itu. Hlm. 461-466.
Demikianlah diantara fatwa-fatwa Az-Zarqa yang ada dalam kitab ini. Kita boleh tidak setuju dengan sebagian fatwanya ini terutama riba yang diambil oleh orang Islam dari orang kafir di Negara kafir asalkan mereka memberikannya secara suka rela. Karena riba tetaplah riba dan hukum Islam berlaku bagi orang Islam di manapun mereka berada. Dan konsep Dar Al Islam dan Dar Al Harb sudah tidak lagi dikenal di zaman sekarang ini. Meski demikian kitab fatwa ini sangat terlalu berharga dilewatkan oleh para pecinta fikih baik kalangan pesantren, akademisi, maupun para ulama pecinta fikih, karena fatwa-fatwa kitab ini banyak menjawab persoalan kontemporer dan dijawab oleh seorang ulama yang hidup di zamannya sekaligus membuktikan bahwa hukum Islam mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer asalkan dilakukan dengan ijtihad yang benar dan salah satunya adalah memanfaatkan hasil-hasil ijtihad mazhab-mazhab yang ada dan meletakkannya dalam timbangan yang sama karena syariat Islam tidak bisa di representasikan oleh satu mazhab tetapi semua mazhab yang pernah ada dan mu’tabar karena masing-masing mazhab saling melengkapi. Cara fatwa dan ijtihad seperti inilah yang dilakukan Az Zarqa, meski ia berasal dari keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi bahkan ayahnya Ahmad Az Zarqa seorang ulama mazhab Hanafi terkenal di Syiria. Dalam menjawab fatwa hukum, ia memberi jawaban yang luas, ilmiah dan panjang lebar jika dirasa perlu, namun terkadang dengan jawaban agak pendek saja sesuai kebutuhan. Yang jelas ia tidak menjawab dengan kata boleh dan tidak boleh saja akan tetapi dengan dalil dan penalaran fiqih yang mantap dengan qawa`id fiqhiyyah, ushul fiqh, maqashid As Syari`ah dan Hikmah Tasyri` serta mengaplikasikannya dalam menjawab persoalan kontemporer. Di sinilah salah satu letak keistimewaan dan kekuatan ilmiah kitab ini. Masih banyak lagi fatwa-fatwanya terutama dalam bidang muamalah kontemporer yang layak untuk diperhatikan meski terkesan ia banyak tidak sejalan dengan ulama yang lain. Misalnya ia membolehkan bank atau kreditur mendenda nasabah karena keterlambatan dalam membayar utangnya asalkan dampak keterlambatan pembayaran utang itu benar-benar terjadi bukan hanya asumsi dan perkiraan saja. Fatwanya yang membolehkan asuransi kesehatan, keselamatan barang, meski ia tidak membolehkan asuransi jiwa. Syaikh Az Zarqa seorang ulama yang ahli dalam bidang fikih muamalah dan sekaligus seorang faqih ensiklopedis (Mausu`i) yang cukup berpengaruh di Timur Tengah. Tidak ada orang yang meragukan kepakarannya dalam bidang fikih. Seperti karya-karyanya dalam bidang fikih, kitab fatawanya ini merupakan bukti terbaik mengenai kepakarannya dalam fikih meski ia tidak menyusun kitab fikih lengkap seperti Wahbah Az Zuhaili. Semoga Allah merahmatinya dan memberinya tempat terbaik di sisiNya. Amin. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)
Tentang Buku
Syari’ah Islam tidak bisa direpresentasikan oleh satu mazhab saja tetapi oleh semua mazhab fiqh dan ijtihad – ijtihad yang mu’tabar.
Dalam kajian sejarah pemikiran hukum Islam paling tidak ada empat
produk hukum yang kita kenal dan masing-masing memiliki karakteristik
yang berbeda. Pertama, Kitab-Kitab Fiqh. Kedua, Fatwa-Fatwa Ulama.
Ketiga, Keputusan-keputusan Pengadilan Agama dan yang terakhir adalah
Peraturan Perundangan di Negara-negara muslim. Yang terakhir ini pada
dasarnya adalah materi kitab-kitab fiqh yang disusun dengan sistemetika
dan bahasa kitab undang-undang (Hukum Positif)
Pada dasarnya fatwa ulama merupakan respon terhadap
pertanyaan yang diajukan kepadanya oleh peminta fatwa. Oleh karena itu
ia bersifat kasuistik, tidak mengikat, dalam artian si peminta
fatwa tidak harus mengikuti apa yang menjadi jawaban atau isi fatwa.
Berbeda halnya dengan keputusan pengadilan yang bersifat mengikat bagi
pihak yang berperkara meskipun mazhab mereka berbeda dengan mazhab hakim
pengadilan yang mengadili perkara mereka.
Fatwa hukum agama sudah dimulai sejak zaman Rasulallah s.a.w. karena sebagai seorang rasul, salah satu tugasnya adalah menjelaskan hukum kepada ummat dan itulah tugas para mufti. Oleh karenanya tidaklah aneh jika para mufti dalam batas-batas tertentu menggantikan, menempati, dan menjalankan tugas kenabian, yakni menjelaskan hukum agama melalui fatwa-fatwa mereka kepada ummat.
Setelah Rasulallah s.a.w. wafat tugas ini terus dilaksanakan oleh para sahabat yang memiliki kemampuan dalam berfatwa, para ulama tabiin, para imam mujtahid dan terus berlanjut hingga sekarang. Banyak fatwa-fatwa yang dibukukan mulai fatwa-fatwa rasulallah, sahabat-sahabat, dan para ulama klasik hingga kontemporer. Misalnya Fatawa Ar Rasul oleh Ibnu Al Qayyim, Fatawa Al Imam Ar Ramli, Fatawa Imam Nawawi, Fatawa `Alam Qir, atau Fatawa Al Kubra, Ibnu Taimiyyah. Untuk fatwa kontemporer misalnya Fatawa Mu’ashirah, Yusuf Al Qardhawi, Fatawa Mahmud Syaltut, Fatawa Mu’ashirah, Wahbah Az Zuhaili dan kitab yang sedang dikaji ini, yakni Fatawa Musthafa Az Zarqa. Adapula fatwa Lembaga – Lembaga Fiqh yang bersifat Fatwa Kolektif seperti Majma Fiqh OKI, Rabithah ‘Alam Islami yang bersifat Internasional hingga fatwa MUI yang bersifat nasional, tidak ketinggalan pula fatwa dari organisasi keagamaan seperti Bahsul Masail NU, Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan sebagainya.
Fatawa Musthafa Az Zarqa ini pada dasarnya merupakan kumpulan fatwa –fatwanya disejumlah majalah yang dihimpun oleh Majd Ahmad Makki, murid Az Zarqa sendiri. Disamping fatwa –fatwa yang masih berbentuk tulisan tangan dan fatwa-fatwa baru yang masih disimpan oleh Az Zarqa yang pernah disampaikan dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1995 hingga tahun 1998.
Musthafa Az Zarqa (1904-1998) adalah seorang pakar fikih kontemporer yang tidak asing di Timur Tengah bahkan di dunia Islam. Banyak karyanya dalam bidan fikih yang sudah dipublikasikan dan menjadi referensi diberbagai Perguruan Tinggi Islam di dunia. Seperti Al Madkhal Al Fiqhi Al ‘Am sebanyak dua jilid tebal, Ahkam Al Auqaf, Nizam At Ta’min, Nadzariyah Al Iltizam, dsb.
Kepakarannya dalam bidang fiqh ini membuatnya diangkat sebagai pakar penulisan Ensiklopedi Fiqh di Kuwait selama Lima Tahun, anggota Lembaga Fiqh Islam RAA dan OKI dan di undang sebagai dosen tamu di Univesitas Yordania sejak tahun 1971-1989 dan memperoleh penghargaan King Faishal Award tahun 1404 H atas karyanya Al Madhkal Ila Nazariah Al Iltizam Fi Al Fiqh Al Islami.
Melihat kiprahnya yang begitu luas dan kepakarannya dalam bidang fiqh, menjadi wajar jika ia menjadi tempat masyarakat untuk meminta fatwa hukum, bukan hanya dari Timur Tengah saja tetapi juga dari Amerika, Eropa, dan Kanada. Dari individu maupun Lembaga-Lembaga Islam.
Fatwa – fatwa yang ada dalam kitab ini terdiri dari berbagai bidang yakni :
1. Bidang Akidah
2. Ibadah, terdiri dari Thaharah, Shalat, Zakat, Haji dan Puasa
3. Hukum-hukum Makanan
4. Bidang Medis
5. Hukum Keluarga
6. Bunga Rampai (campuran)
7. Berkaitan dengan undang-undang (Fiqh Qonuni)
8. Hudud dan Diyat9. Muamalah dan Keuangan (Transaksi, Asuransi, Hutang Piutang, Sewa Menyewa, dll )
10. Persoalan Bank
Jika kita meneliti fatwa-fatwa Az Zarqa ini, kita akan menemukan banyak jawaban-jawaban yang tampak terkesan kontroversial dan berbeda dengan para ulama yang lain. Orang yang tidak memiliki khazanah fiqh yang luas, fiqh dan ushul fiqh akan segera mengecamnya sebagai Faqih yang liberal. Akan tetapi sebagai seorang faqih yang luas pengetahuannya ia memiliki argumentasi yang mungkin tidak terlintas dibenak orang awam.
Dalam bidang penetapan awal bulan puasa dan hari raya misalnya, Az Zarqa dapat kita lihat sebagai pendukung mutlak hisab. Menurutnya awal puasa dan hari raya bisa dilakukan hanya dengan hisab tanpa harus ru’yah asalkan hisab itu dapat dipertanggungjawabkan tingkat akurasinya. Alasannya jika nabi menyuruh ummat melihat bulan (ru’yah) itu karena mereka bangsa yang tidak mahir membaca dan berhitung (ummi). Dan melihat bulan pada tanggal 29 Ramadhan adalah metode termudah untuk mengetahui awal bulan, karena bulan arab (Qomariah) ada yang 29 dan ada yang 30 hari. Harus diingat bahwa melihat bulan (hilal) bukan syarat mutlak untuk memulai puasa dan hari raya. Karena jika tanggal 29 Sya’ban atau 29 Ramadhan bulan tidak terlihat maka nabi memerintahkan istikmal. Tetapi seandainya pada tanggal 30 Ramadhan bulan juga belum terlihat, tidak lantas besoknya tetap puasa. Artinya ru’yah hilal itu bukan syarat mutlak, akan tetapi ia merupakan sarana (wasilah) yang mungkin saat itu. Jika para ulama klasik menolak hasil hisab pada saat itu, karena ilmu ini masih bercampur dengan ilmu nujum dan belum akurat, masih bersifat rekaan, bahkan dugaan kuat pun belum. Jadi wajar jika para ulama terdahulu menolak hasil hisab – falak dan sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Az Zarqa juga menukil pendapat Imam Qalyubi dari Syafi`iyah yang menukil pendapat Al Ibadi bahwa jika hisab qati’ menetapkan hilal tidak bisa dilihat dan ada orang yang mengaku bisa melihatnya maka kesaksiannya tidak dapat diterima meski ia orang adil. Hlm 157-169.
Dalam bidang miqat ihram haji bagi jama’ah haji yang naik pesawat dan turun di Bandara King Abdul Aziz Jeddah maka miqat ihram makani mereka adalah Jeddah. Dengan bahasa yang tegas ia mengatakan bahwa orang yang datang dengan pesawat terbang tidak wajib melakukan ihram kecuali setelah pesawat mendarat di daerah yang akan mereka tempuh dengan jalur darat. Karena Bandara Internasional Jeddah terletak di dalam miqat makani maka dari situlah mereka harus memulai ihram karena mereka disamakan dengan penduduk Jeddah. Seandainya bandara itu nanti dipindah ke Makkah, maka tempat ihram mereka adalah dari makkah sama dengan penduduk Makkah. Begitu seterusnya sesuai dengan miqat-miqat makani yang sudah ditentukan lewat jalur darat pada masa nabi s.a.w. Menurutnya ketentuan miqat makani ihram yang sudah ada nashnya tidak berlaku bagi orang yang naik pesawat. Ia menolak pendapat ulama yang mengatakan bahwa teks hadits mengenai miqat makani berlaku baik lewat darat, laut, maupun udara. Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan semua ulama anggota RAA yang bersidang di Yordania tahun 1407 H. Hlm 177-194.
Untuk kasus bacaan Fatihah dalam shalat ia membolehkan bagi orang yang baru masuk Islam untuk membaca terjemahannya dalam bahasa mereka hingga beberapa minggu sampai mereka mampu dengan bahasa arab, karena nabi juga memberi keringanan kepada Salman Al Farisi untuk menerjemahkan surat Al Fatihah kepada penduduk Persia yang baru masuk Islam. Hlm 109.
Untuk kasus zakat tanah yang dibeli untuk dibisniskan (komoditas bisnis) maka zakatnya sama dengan zakat tijarah (dagang) yang harus memakai haul dan harga terakhir pada saat penjualan itulah yang dihitung zakatnya. Hlm 131.
Dalam persoalan wanita dan keluarga misalnya, ia menfatwakan bahwa wanita boleh bepergian naik pesawat dan angkutan umum meski tanpa didampingi mahramnya. Karena angkutan massa seperti pesawat, kereta api, dan sebagainya terjamin keamanannya. Larangan nabi dalam kasus ini dapat dipahami karena perjalanan yang dilakukan pada zaman dahulu sangatlah beresiko apalagi bagi wanita, keamanan tidak terjamin. Tapi kondisinya sekarang berbeda dengan angkutan massa seperti pesawat atau kereta api. Tetapi ia mensyaratkan apabila ditempat tujuan ada yang menyambut wanita itu. Hlm 276. Secara umum, dalam bidang wanita dan keluarga fatwa-fatwanya tidak berbeda dengan pendapat yang sudah ada. Bisa dikatakan ia cenderung konservatif. Misalnya ia tidak menyamakan bagian waris antara anak laki-laki dan perempuan, tidak membolehkan nikah mut`ah, tidak membolehkan wanita membuka kepala di zaman sekarang dengan alasan `Umum Al Balwa, tidak bisa dihindari. Jadi harus memakai penutup kepala (Jilbab).
Ada satu fatwanya yang cukup menarik untuk kita pahami. Yakni dalam kasus orang Islam mengucapkan selamat natal kepada orang Kristen. Ia memfatwakan bahwa hal itu boleh-boleh saja karena yang demikian itu termasuk basa-basi pergaulan (Mujamalah) dan etika baik dalam pergaulan dan Islam tidak melarangnya. Terlebih lagi dalam akidah kita, Isa adalah rasul Ulul Azm. Meski mereka meyakininya sebagai Tuhan, itu tidak ada hubungannya dengan perlunya basa-basi pergaulan. Kita orang Islam dituntut untuk menampilkan keindahan dan moderatisme islam, lebih-lebih kenalan-kenalan kita dari kalangan Kristen mengucapkan selamat hari raya kepada kita, dan jika kita tidak membalasnya tentu ini akan menguatkan tuduhan bahwa kita memang orang keras hati dan tidak siap bergaul dengan mereka. Jika mengucapkan selamat natal saja boleh, maka mencetak kartu natal juga boleh-boleh saja. Hlm. 355-358.
Dalam kasus fatwa bunga bank,menurutnya dalam kondisi sekarang ini menabung uang di bank konvensional apalagi dalam jumlah besar memang suatu kebutuhan (dharurat) karena aspek keamanannya lebih terjamin. Meski demikian bunganya tetap haram, harus diambil dan diberikan kepada fakir miskin. Tidak boleh diniati sebagai zakat atau sedekah, karena apabila tidak diambil akan semakin memperkuat bank ribawi. Hanya saja ia mengingatkan jika bank Islam sudah ada di wilayah itu, haram hukumnya menabung di bank ribawi sesuai dengan kaidah fikih Ad Dharurah Tuqaddaru Bi Qadariha. Hlm 586. Bandingkan dengan sebagian orang yang mengambil bunga bank dan tidak memakannya akan tetapi membelikannya kepada barang –barang elektronik umpamanya, jelas hal ini bertentangan dengan fatwa Az Zarqa.
Beberapa fatwa kontroversinya yang terkait dengan bunga bank adalah jika orang Islam yang tinggal di barat menabung dan memperoleh bunga bank di negeri kafir (barat) misalnya, hal itu diperbolehkan. Fatwa ini didasarkan pada fatwa Imam Hanafi yang membolehkan orang Islam masuk ke negeri kafir (Bilad Al Harb) dengan aman untuk memakan riba dari mereka asalkan mereka memberi riba itu dengan senang hati, tetapi orang Islam tidak boleh memberi riba kepada mereka. Fatwa ini ditujukannya kepada muslim Amerika yang tinggal di sana. Baik mereka menabung lalu mendapatkan bunga atau meminjam uang untuk kredit rumah atau mobil karena manfaatnya juga akan terpulang kepada mereka meski secara zahir mereka memberikan riba kepada bank untuk kredit rumah dan mobil itu. Hlm 661-666. Fatwa ini tidak berlaku bagi orang Islam yang tinggal di Negara Islam yang sengaja menabung di Barat atau bank-bank asing yang ada di Negara islam. Alasannya hal itu akan melemahkan ekonomi Negara karena banyaknya uang ummat Islam yang keluar negeri khususnya Negara-negara barat. Hal ini logis secara hukum dan sesuai dengan prinsip Sadd Ad Dzari`ah. Hlm 614-618.
Ada satu fatwa hukum Az Zarqa yang tampaknya sekarang di adopsi oleh Departemen Agama yaitu membangun ulang masjid yang sudah ada dan memperluasnya kemudian masjid di letakkan di lantai dua, sedangkan lantai satu menjadi pusat pertokoan yang hasil sewanya untuk kemaslahatan wakaf dan kepentingan masjid. Fatwa Az Zarqa ini didasarkan pada pendapat Ibnu Taimiah dan Imam Ahmad dalam satu riwayat. Fatwa ini dikeluarkan sebagai jawaban atas permohonan fatwa dari Menteri Wakaf dan Urusan Tempat-Tempat Suci Yordania. Hlm. 461-466. Meski demikian, Syaikh Az-Zarqa dengan timnya juga menggaris bawahi bahwa perubahan itu hanya sampai lantai dua saja. Sebab jika dibangun hingga beberapa lantai dan masjid diletakkan dilantai empat misalnya, itu akan membuat masjid menjadi sepi karena orang akan susah dan malas naik ke sana serta mengurangi dan menyalahi tujuan wakaf masjid itu. Hlm. 461-466.
Demikianlah diantara fatwa-fatwa Az-Zarqa yang ada dalam kitab ini. Kita boleh tidak setuju dengan sebagian fatwanya ini terutama riba yang diambil oleh orang Islam dari orang kafir di Negara kafir asalkan mereka memberikannya secara suka rela. Karena riba tetaplah riba dan hukum Islam berlaku bagi orang Islam di manapun mereka berada. Dan konsep Dar Al Islam dan Dar Al Harb sudah tidak lagi dikenal di zaman sekarang ini. Meski demikian kitab fatwa ini sangat terlalu berharga dilewatkan oleh para pecinta fikih baik kalangan pesantren, akademisi, maupun para ulama pecinta fikih, karena fatwa-fatwa kitab ini banyak menjawab persoalan kontemporer dan dijawab oleh seorang ulama yang hidup di zamannya sekaligus membuktikan bahwa hukum Islam mampu menjawab persoalan-persoalan kontemporer asalkan dilakukan dengan ijtihad yang benar dan salah satunya adalah memanfaatkan hasil-hasil ijtihad mazhab-mazhab yang ada dan meletakkannya dalam timbangan yang sama karena syariat Islam tidak bisa di representasikan oleh satu mazhab tetapi semua mazhab yang pernah ada dan mu’tabar karena masing-masing mazhab saling melengkapi. Cara fatwa dan ijtihad seperti inilah yang dilakukan Az Zarqa, meski ia berasal dari keluarga dengan tradisi mazhab Hanafi bahkan ayahnya Ahmad Az Zarqa seorang ulama mazhab Hanafi terkenal di Syiria. Dalam menjawab fatwa hukum, ia memberi jawaban yang luas, ilmiah dan panjang lebar jika dirasa perlu, namun terkadang dengan jawaban agak pendek saja sesuai kebutuhan. Yang jelas ia tidak menjawab dengan kata boleh dan tidak boleh saja akan tetapi dengan dalil dan penalaran fiqih yang mantap dengan qawa`id fiqhiyyah, ushul fiqh, maqashid As Syari`ah dan Hikmah Tasyri` serta mengaplikasikannya dalam menjawab persoalan kontemporer. Di sinilah salah satu letak keistimewaan dan kekuatan ilmiah kitab ini. Masih banyak lagi fatwa-fatwanya terutama dalam bidang muamalah kontemporer yang layak untuk diperhatikan meski terkesan ia banyak tidak sejalan dengan ulama yang lain. Misalnya ia membolehkan bank atau kreditur mendenda nasabah karena keterlambatan dalam membayar utangnya asalkan dampak keterlambatan pembayaran utang itu benar-benar terjadi bukan hanya asumsi dan perkiraan saja. Fatwanya yang membolehkan asuransi kesehatan, keselamatan barang, meski ia tidak membolehkan asuransi jiwa. Syaikh Az Zarqa seorang ulama yang ahli dalam bidang fikih muamalah dan sekaligus seorang faqih ensiklopedis (Mausu`i) yang cukup berpengaruh di Timur Tengah. Tidak ada orang yang meragukan kepakarannya dalam bidang fikih. Seperti karya-karyanya dalam bidang fikih, kitab fatawanya ini merupakan bukti terbaik mengenai kepakarannya dalam fikih meski ia tidak menyusun kitab fikih lengkap seperti Wahbah Az Zuhaili. Semoga Allah merahmatinya dan memberinya tempat terbaik di sisiNya. Amin. (Samito, MSI, Guru Madrasah Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta)
Tentang Buku
Judul | : | Fatawa Musthafa Az Zarqa | ||||||||||
Penulis | : | Syaikh Musthafa Az Zarqa | ||||||||||
Penerbit | : | (Damaskus) Dar Al Qalam | ||||||||||
Tebal | : | 668 Halaman | ||||||||||
Cetakan | : | Ke-3 tahun 2004 | Sumber Alamat : http://pendis.kemenag.go.id/kerangka/pontren.htm |
0 komentar:
Posting Komentar